PUISI, JALAN DAKWAH ABDUL WACHID
B.S
ESAI OPINI
TUGAS
Disusun sebagai Syarat Kelulusan Matakuliah
Bahasa dan Sastra Indonesia
ABDUL WACHID B.S
oleh
MUHAMAD RIFA’I
1223301208
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2013
PUISI,
JALAN DAKWAH ABDUL WACHID B.S
Kata Dakwah berasal dari bahasa arab yang merupakan
bentuk masdar dari kata da’a-yad’u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan.
Secara istilah dakwah dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang bersifat
menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah SWT.
Pentingnya dakwah sebagai sebuah
aktifitas yang bersifat wajib di dalam islam sangat jelas karena pedoman dasar
hukum pelaksanaan dakwah
telah terkodifikasi di dalam kitab suci Al-Qur’an dan redaksi hadits Rasulallah saw.[1]
Allah berfirman dalam Surat an-Nahl ayat 125 yang artinya:
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang orang yang mendapat petunjuk.”
Ayat
tersebut menerangkan bahwa Allah memerintahkan kita senantiasa menyeru dan
mengajak akan kebaikan dan mengikis kemungkaran “amar ma’ruf nahi munkar”.
Nabi Muhammad pun mewajibkan semua umat islam untuk berdakwah, senantiasa
saling mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran sesuai kemampuan
masing masing.
Lantas,
sebagai seorang muslim, bagaimanakah seorang Abdul Wachid B.S (Penulis buku
antologi puisi “Kepayang”) melakukan dakwahnya?
Dalam ilmu dakwah, Nabi Muhammad saw. telah
mencontohkan dakwah kepada umatnya melalui berbagai cara seperti melaui lisan (bil-lisan),
perbuatan (bil-haal), atau melalui tulisan (bit-tadwin).
Bercermin dari apa yang dilakukan Rasul,
maka Abdul Wachid B.S memadukannya dalam sebuah karya sastra yang dapat
dinikmati melalui lisan maupun tulisan, Apa itu?
Ya
benar, Puisi adalah
jalan yang dipilihnya dalam melakukan dakwah. Dalam bait-bait puisi dan
sajaknya tergambar jelas ekspresi religiusitas dan lelaku ibadah seorang
penyair. Luapan rasa cinta dan kasih sayang menjadi topik pembicaraan utama,
hal itu begitu kentara dalam puisi yang berjudul “Jatuh Cinta Kepadamu” :
Jatuh
cinta kepadamu
Padang
ilalang merayakan kembang putihnya
Musim
kemarau tak lagi bernyanyi parau
Lantaran
gerimis senja
Mengembalikan
sunyi kepada pagi:
Daun
dan bunga bermahkota embun
Bait
puisi ini mengisasyaratkan perasaan cinta yang meletup-letup, selayaknya sedang
dilanda cinta rasa hati jadi berbunga, sesuatu yang mulanya biasa kini berubah
menjelma, demi cinta pula seorang lelaki akan merelakan apapun deminya
sekalipun akan terasa sakit seperti seorang lelaki yang menyediakan diri
untuk disalibkan dengan luka-luka rajam. Namun yang menjadi pertanyaan,
siapakah yang sebenarnya ia cintai dalam puisi ini?
Jatuh
cinta kepadamu
Tidak
terhitung jumlahnya
Harapan
menjadi doa-doa yang tidak berkesudahan
Bahwa
aku sedemikian kerdil
Untuk
memeluk semesta cintamu
Melalui
bait puisi ini penyair mencoba meunjukan siapa sesungguhnya ia maksud, ia merasa begitu kecil untuk memeluk cinta-Nya yang begitu agung, Tuhanlah
yang sesungguhnya ia maksud. Puisi ini berkisah tentang cinta seorang hamba
dengan sang Penciptanya yaitu Tuhan. Untuk menyatakan wujud cintanya ia selalu
mengingat dan menyebut-nyebut nama-Nya
dengan berdzikir dan bermunajat di tengah malam, ini merupakan lelaku
komunikasi berupa ibadah yang coba penyair deskripsikan dalam bait terakhir
puisinya yang berjudul “Jatuh Cinta Kepadamu”.
Pesan
spiritual penyair juga disampaikan dalam puisinya yang berjudul “di Rumah
Itulah”
ada
sebuah besi batu yang
bertahtakan
lubuk hati :
sebuah
rumah tempat memulai
dan
mengakhiri pemujaan kepadamu, hyang
di
rumah itulah
aku membuka dan menutup pintu
datang dan berlalu
sujud
di atas tanah
Mengisahkan
tentang kegiatan peribadahannya di dalam sebuah rumah, rumah Tuhan. Disanalah
ia melakukan sujud dan bersembahyang, dalam dunia tasawuf kesempurnaan di dunia
yang hendak dicapai adalah ketika dapat mencintai Tuhannya, bercumbu mesra
dalam manunggaling kawula gusti. Mungkin dari judul buku antologi puisinya
“Kepayang” memiliki makna mabuk yang ditimbulkan dari sebuah perasaan cinta
pada Tuhannya. Penyair juga mengajak kita untuk senantiasa mengembalikan segala
permasalahan hidup hanya kepada Tuhannya, Dialah yang mampu menjawabnya karena
segala sesuatu berasal dari-Nya
dan akan kembali pula kepada-Nya.
Dalam kata pengantar buku antologi puisinya “Kepayang”,
lee yeon menyampaikan bahwa puisi Abdul
Wachid B.S terasa memiliki nafas tersendiri. Nafas itu terasa seperti lantunan
doa. Setiap kali menikmati puisinya, setiap
itu pula lee yeon seolah-olah dibawa kepada sosok yang yang sedang melantunkan
doa, dan dia seperti mendengar irama doa yang indah dan penuh spirit mencintai
Tuhan[2].
Puisinya sarat dengan aroma sufi yang begitu menyentuh, mengajak kita
senantiasa mencintai Tuhan yang telah memberi kenikmatan yang tak terhitung
jumlahnya.
Bagi
saya pribadi puisi-puisi Abdul Wachid B.S jelas mengandung nilai-nilai dakwah,
mengajak kebaikan untuk menebar kasih sayang dan mewujudkan rasa cintanya
melalui lelaku ibadah, bertindak pasrah pada sang pencipta sebagai muara dari
semua muara kehidupan.
Dakwah
bukan hanya milik Kyai, Haji dan Ustadz-ustadz masyhur melainkan milik umat
islam. Sudah selayaknya kita mendakwahkan sesuatu yang baik dan mulai mengikis
segala kemungkaran berlandaskan rasa cinta dan kasih sayang. Nabi pun
mewajibkan semua umatnya melakukan itu sebagaimana ia mampu melakukannya, dan
melalui puisilah Abdul Wachid B.S melakukan kewajibannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar