MASAIL FIQIYAH
TENTANG BERBAGAI MASALAH HAJI
MAKALAH
Diajukan
sebagai salah satu syarat kelulusan
Mata kuliah
Masailul Fiqih
Oleh :
1.
Miftahul
Janah 1223301205
2.
Muhamad
Rifa’i 1223301208
3.
Sofi
Afani Rakhmawati 1223301218
PRODI PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Haji secara lughat (bahasa)
adalah menyengaja, sedangkan menurut syara’ adalah menyegaja mengunjungi
ka’bah dengan tujuan beribadah. Hukum melakukan ritual ibadah haji bagi setiap
individu muslim adalah wajib sebanyak sekali seumur hidup. Haji adalah salah
satu rukun Islam yang dampaknya sangat tampak bagi pelaku dimata khalayak umum,
hal ini disebabkan karena haji termasuk ibadah yang memerlukan pengorbanan
fisik dan material.
Di dalam ritual haji terdapat hal-hal yang harus terpenuhi yaitu
berupa syarat dan rukun haji. Syarat wajib
haji meliputi ; (1) Islam, (2) Baligh, (3) Berakal, (4) Istitha’ah (mampu), (5)
Merdeka. Sedangkan rukun haji menurut Imam syafi’i meliputi ; (1) Ihrom, (2)
Wukuf di Arafah, (3) Thawaf Ifadlah, (4)
Sa’i antara Shafa dan Marwa, (5) Tahallul, dan (6) Tartib.[1]
Dalam perkembangannya jumlah jamaah haji semakin hari kian meningkat
sehingga terjadi beberapa masalah terkait pelaksanaan haji, seperti
keterbatasan tempat sehingga pemerintah Arab Saudi memberlakukan kebijakan –
kebijakan antara lain memperluas mina, dan penambahan lantai untuk tempat
thawaf. Ternyata kebijakan tersebut menjadi kontroversi dikalangan ulama
Indonesia. Perluasan daerah mina ini, membuat adanya pembatasan kuota
pemberangkatan calon jamaah haji dan lamanya waktu pemberangkatan. Tidak heran
banyak para calon jamaah haji yang harus digantikan oleh orang lain karena hal
ini. Oleh karena itu penulis akan membahas permasalahan- permasalahan terkait
ibadah haji tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Pada makalah
ini akan dijelaskan mengenai:
1.
Haji badal di masa kini (M.
Rifai)
2.
Masalah Haji Perempuan (Sofi
A)
3.
Mina jadidul jadid (Miftah
J)
4.
Sa’i dan thawaf lantai atas (Miftah
J)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Haji Badal
1.
Pengertian
Badal secara lughawi berarti mengganti, merubah atau menukar.[2]
Dengan demikian yang dimaksud haji badal adalah ibadah haji seseorang
yang pelaksanaannya diwakilkan atau digantikan oleh orang lain.[3]
Sedangkan menurut Wikipedia, haji badal atau Haji Niyabah (Haji
Gantian) ialah sejenis haji yang ditunaikan oleh
seseorang untuk orang lain menurut syarat-syarat tertentu.[4]
Dengan kata lain, haji badal muncul berkaitan dengan seseorang yang
telah dikategorikan wajib haji (terutama dari segi ekonomi) tapi tidak mampu
melakukannya sendiri karena adanya halangan yang dilegalkan oleh syariat Islam.
Maka dapat dipahami bahwa haji badal dilakukan dalam salah satu dari dua
kondisi; ketika yang diwakilkan masih hidup atau yang diwakilkan telah
meninggal dunia.[5]
Dari pemaparan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud haji badal adalah haji yang
dilakukan oleh seseorang untuk menggantikan kewajiban haji bagi orang lain
dikarenakan adanya udzur, dan dilakukan dengan syarat-syarat tertentu.
2.
Hukum membadal
haji
Berkenaan dengan kondisi
pertama, para ulama berbeda pendapat akan kebolehannya. Imam Hanafi, Syafi’i
dan Hambali menyatakan bahwa seseorang yang istitha’ah sebelum sakit harus
dibadalkan hajinya.[6]
Dengan dasar hadist Rasulullah: Bahwa seorang wanita dari Khas’am bertanya
kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, salah satu kewajiban Allah kepada
hamba-Nya adalah haji. Ayah saya sekarang sudah sangat tua, tidak lagi sanggup
duduk di atas kendaraan. Apakah aku boleh menunaikan ibadah haji atas namanya?”
“Boleh,” jawab Rasulullah.(HR. Malik, as-Syafi’i, dan Bukhari).
Adapun hadits yang berkaitan dengan diperbolehkannya orang yang telah
meninggal untuk dihajikan adalah dari Ibnu Abbas RA.
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ
فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا
أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ
فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
“Diriwayatkan bahwa ada seorang wanita dari suku Juhainah datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: "Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji namun dia belum sempat menunaikannya hingga meninggal dunia, apakah boleh aku menghajikannya?". Beliau menjawab: "Tunaikanlah haji untuknya. Bagaimana pendapatmnu jika ibumu mempunyai hutang, apakah kamu wajib membayarkannya?. Bayarlah hutang kepada Allah karena (hutang) kepada Allah lebih patut untuk dibayar”.(HR. Bukhari)
Berbeda dengan mazhab
Maliki, yang tidak membenarkan
adanya perwakilan, karena ibadah haji harus istitha’ah dengan diri sendiri
bukan istita’ah dengan perantara orang lain.[7]
dengan alasan walaupun haji merupakan ibadah gabungan antara ibadah fisik
(badaniah) dan materi (maliyah) akan tetapi sisi fisiknya lebih menonjol
dibandingkan sisi materinya. Dengan demikian, seorang yang mampu secara ekonomi
tapi tertimpa udzur syar’i sehingga tidak dapat menunaikan ibadah haji, maka tidak
diwajibkan.
Jika seseorang sudah mampu (istitha’ah) melaksanakan
ibadah haji namun sampai ia meninggal dunia belum melaksanakannya, maka ahli
warisnya wajib mengeluarkan hartanya untuk biaya haji dan umrahnya. Pendapat
ini disampaikan oleh Imam Syafi’i, Ahmad, al-Hasan dan Thawus. Sedangakn menurut Abu Hanifah dan Malik, ahli
waris tidak wajib mengeluarkan harta si mayit karena kewajiban hajinya gugur, kecuali
dia berwasiat, maka ahli waris wajib untuk mengeluarkan harta milik si mayit
sebanyak sepertiga harta yang ditinggalkannya.[8]
3.
Syarat badal
haji
Selayaknya ibadah-ibadah lain dalam islam, dalam badal
haji pun terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, diantaranya yaitu:
a. Fisik orang
yang dibadalkan terus menerus berada dalam kondisi lemah hingga akhir hayatnya.
b. Ibadah haji
tersebut diniatkan atas nama orang yang diwakilkan.
c. Semua biaya
harus ditanggung oleh orang yang dihajikan.
d. Hendaknya
orang yang mengerjakan ibadah haji dilakukan sesuai dengan permintaan.
e. Perwakilan
haji ini hanya berlaku untuk satu orang. Dengan demikian, maka orang yang
menggantikan dua orang sekaligus maka hajinya tidak sah.
f. Disyaratkan
bagi orang yang menggantikan harus dewasa, berakal, merdeka dan laki-laki.
g. Disyaratkan
pula si pengganti telah menunaikan ibadah haji. Hal ini didasarkan pada
pendapat madzhab Syafi’i dan Hambali, Orang yang menggantikan harus
melaksanakan seluruh rangkaian ibadah haji dengan sempurna. Jika ada kesalahan
yang dilakukannya sehingga feadah tersebut menjadi batal atau rusak, ia harus
menggantinya. Sebagaimana pada hadist Nabi dari Ibnu Abbas ra.
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا
يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ
حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لَا قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ
شُبْرُمَةَ
“Diriwayatkan bahwa Nabi shalla Allahu 'alaihi wa sallam mendengar seseorang
mengucapkan “ Labbaika ‘an Syubrumah” (ya Allah, aku memenuhi seruanmu untuk Syubrumah), beliau bertanya: "Siapakah Syubrumah tersebut?" Dia menjawab; saudaraku! Atau
kerabatku! Beliau bertanya: "Apakah engkau telah melaksanakan haji untuk
dirimu sendiri?" Dia menjawab; belum! Beliau berkata: "Laksanakan
haji untuk dirimu, kemudian berhajilah untuk Syubrumah.”(HR. Abu Daud, Ibnu Hibban, dan Hakim).
Sedangakan menurut madzhab Hanafi
dan Maliki, orang yang belum haji boleh menghajikan orang lain dan sah menurut
hukum, tetapi orang tersebut berdosa karena belum haji untuk dirinya sendiri.[9]
4. Mengambil
upah dari badal haji
Badal haji hanya dikhususkan untuk seseorang yang
tidak mampu secara fisik ataupun telah meninggal namun secara ekonomi telah
masuk dalam kategori wajib haji. Dalam prakteknya, ada beberapa orang yang
mengambil upah atau bayaran diluar akomodasi haji itu sendiri, kemudian
bagaimana hukumnya?, apakah orang yang menghajikan akan tetap mendapat pahala
sebagaimana orang yang digantikan?.
Menurut Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta Jika seseorang mengambil upah
untuk menggantikan orang lain karena ingin mendapatkan dunia, maka dia dalam
keadaan bahaya besar dan dikhawatirkan tidak diterima hajinya. Sebab dengan itu
berarti dia lebih mengutamakan dunia atas akhirat. Tapi jika seseorang
mengambil upah badal haji karena ingin mendapatkan apa yang di sisi Allah,
memberikan kemanfaatan kepada suadaranya yang muslim dengan menggantikan
hajinya, untuk bersama-sama kaum muslimin dalam mensyi’arkan haji, ingin
mendapatkan pahala thawaf dan shalat di Masjidil haram, serta menghadiri
majelis-majelis ilmu di tanah suci, maka dia mendapatkan keuntungan besar dan
diharapakan dia mendapatkan pahala haji seperti pahala orang yang
digantikannya.[10]
Namun berbeda dengan para imam madzhab, menurut imam
Syafi’i dan Maliki memperbolehkannya, sedangkan mazhab Hanafi tidak
memperbolehkannya.
Ibadah haji adalah
ibadah yang cukup melelahkan dan membutuhkan fisik yang prima, maka menurut
pendapat saya sebagaimana kaidah umum berlaku, bolehlah kita menberi upah
sekedarnya sebagai tanda terima kasih, dan itu tidak bertentangan selama adanya
kerelaan diantara dua pihak, islampun selalu mengajarkan kita untuk selalu
bijaksana dalam segala hal. Mengenai ibadah haji yang tidak diterima
sebagaimana dijelaskan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta, menurut
pendapat saya hal itu berlaku pada seseorang yang menjadikan pengganti haji
badal sebagai profesi atau mementukan tarif sehingga menjadikan salah salah
satu pihak merasa keberatan atau tidak saling rela.
B.
Masalah Haji Perempuan
Ibadah haji dan umrah diwajibkan sekali seumur hidup bagi muslim yang akil
baligh dan merdeka. Kewajiban ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Dalam
suatu hadits yang artinya
“Hai Rasulullah, apakah ada kewajiban jihad bagi perempuan? Rasulullah
menjawab: ‘ya, bagi mereka ada kewajiban jihad tanpa perang, yakni haji dan
umrah’ (H. R. Ahmad dan Ibnu Majah)”
Hadist di atas menjadi
dalil tidak adanya kewajiban jihad dalam arti berperang bagi perempuan, namun
disisi lain ada kewajiban mengerjakan haji dan umrah.
1. Penambahan
syarat wajib
Syarat- Syarat wajib haji bagi perempuan sesungguhnya sama dengan syarat-syarat
wajib haji bagi pria, namun terdapat penambahan yaitu harus disertai dengan
suami atau mahramnya. Hal ini masih diperdebatkan dikalangan ulama. Yang
dimaksud dengan mahram secara bahasa adalah seseorang yang diharamkan menikah dengannya,
sedangkan menurut istilah yaitu seorang laki-laki yang diharamkan menikah
dengan seorang perempuan selamanya karena nasab, seperti hubungan bapak, anak,
saudara dan paman, atau karena sebab yang mubah seperti suami, anak suami,
mertua, saudara sesusuan.[11]
Abu Hanifah dan Ahmad dalam
salah satu riwayatnya mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh melaksanakan
ibadah haji kecuali dengan mahramnya. Pendapat ini didasarkan pada hadist Ibnu
Abbas radhiyallahu
‘anhuma bahwa dia mendengar Nabi SAW. bersabdas :
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat
(berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita
bepergian kecuali bersama mahramnya”. Lalu ada seorang laki-laki yang bangkit
seraya berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk
mengikutu suatu peperangan sedangkan istriku pergi menunaikan hajji”. Maka
Beliau bersabda: “Tunaikanlah hajji bersama istrimu” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas menunjukkan bahwa mahram adalah syarat wajib haji
bagi seorang wanita muslimah.[12]
Demikian juga pendapat dari Abu Hanifah, Ahmad, al-Hasan, Ikrimah, Ibrahim
al-Nakha’i, Thawus, Ishak, dan al-Tsauri.
Sedangkan
menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad,
mahram bukanlah merupakan syarat.
a.
Menurut
as-Syafi’i,perempuan bisa pergi dengan perempuan-perempuan muslim yang dapat
dipercaya.
b.
Menurut Ibnu
Sirin, perempuan bisa pergi bersama laki-laki dari kaum muslimin
c.
Menurut Auza’i,
perempuan bisa pergi bersama orang-orang yang adil
Pendapat yang kuat adalah bahwa mahram bukanlah syarat wajib haji
bagi wanita muslimah berdasarkan hadist dan atsar sahabat. Tetapi boleh bersama
rombongan perempuan yang bisa dipercaya, khususnya jika keadaan aman.
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat di ambil kesimpulan bahwa
pensyaratan tersebut masih menjadi perdebatan, dan alangkah sebaiknya jika
memang haji perempuan didampingi oleh mahramnya karena akan terhindar dari fitnah dan marabahaya. Dengan demikian Islam
dipahami sebagai agama yang selalu menjaga kehormatan dan keselamatan wanita,
sekaligus memberikan solusi-solusi yang bisa dipertanggung jawabkan baik secara
agama maupun secara sosial.[13]
2. Izin Suami
Hak dan kewajiban bersuami istri seyogyanya harus terus terpelihara. Izin
berpergian, apalagi untuk menunaikan ibadah haji tentu harus diminta oleh istri
kepada suaminya. Persoalan diberi izin atau tidak, merupakan hal yang
manusiawi.
Disebutkan dalam Fiqh al-Sunnah, bagi perempuan tidak dibutuhkan
izin suaminya diwaktu keluar untuk menunaikan haji fardhu karena tidak menjadi
syarat isthita’ah baginya. Sebab haji adalah ibadah yang wajib baginya
dan makhluk tidak boleh taat dalam mendurhakai Allah. Adapun haji sunat maka
suami boleh mencegahnya.
Allah SWT mewajibkan bagi kaum perempuan untuk taat kepada Allah dan jga
taat pada suaminya. Ia harus mengerjakan semua itu. Istri tidak boleh
melalaikan kewajibannya. Jika istri tetap melakukannya, maka suami boleh
melarangnya. Hanya saja ketika Allah memerintahkannya untuk melaksanakan suatu
kewajiban, berhaji misalnya, maka suami tidak boleh melarangnya.[14]
3. Penunda Haid
Menunaikan ibadah haji bagi para calon jemaah
haji wanita usia subur, terdapat halangan haid yang dapat
menyebabkan tertundanya rukun haji yaitu thawaf (mengelilingi ka’bah) tidak
bisa bersama muhrim, keluarga, atau bahkan kelompok terbangnya (kloter) nya,
yang dapat mengganggu psikologis calon jemaah haji sehingga dapat mengalami
gangguan psikologis dan menggangu kesempurnaan hajinya. Disamping itu karena
mengalami haid dapat menyebabkan calon jemaah haji tidak dapat melaksanakan
sholat arba’in (40 waktu sholat) di mesjid nabawi yang merupakan idaman setiap orang
yang menunaikan ibadah haji.
Perkembangan ilmu kedokteran menawarkan obat menunda
haid dalam berhaji. Sehingga dapat melakukan thawaf dan rukun haji lainya
bersama di Mekkah, serta dapat sholat arba’in di Madinah sebagaimna yang
diinginkan tanpa terhalang haid, sehingga calon jemaah haji dapat menunaikan
ibadah haji dengan sempurna.
Adapun aspek hukum penggunaan Pil Anti Haid, menurut
Syekh Mar’i Al Maqdisy Al-Hanbali, Syaikh Ibrahim bin Muhammad (keduanya ahli
fiqih madzhab Hanbali) dan yusuf Al- Qardawy (Ahli fiqih Kontemporer)
berpendapat bahwa wanita yang mengkhawatirkan hajinya tidak
sempurna, maka dia boleh menggunakan obat menunda haidnya. Alasan mereka adalah
karena wanita itu sulit menyempurnakan hajinya, sedangkan teks atau dalil yang
melarang menunda haid itu tidak ada. Selain itu menurut fatwa Majlis Ulama
Indonesia (MUI) tanggal 12 Januari 1979 membolehkan penggunaan pil anti haid
dengan penjelasan sebgai berikut:
a. Penggunaan
Pil Anti Haid untuk kesempatan ibadah haji hukumnya mubah.
b. Penggunaan Pil Anti Haid dengan maksud agar dapat
mencukupi puasa Ramadhan sebulan penuh, hukumnya makruh. Akan tetapi, bagi perempuan yang susah mengqadha pada hari
lain hukumnya mubah.
c. Penggunaan
Pil Anti Haid selain dari dua hal tersebut di atas, hukumnya tergantung pada
niatnya. Apabila untuk perbuatan yang menjurus pada pelanggraan hukum agama
maka hukumnya haram.
Kebolehan penggunaan Pil Anti Haid ini sesuai dengan
dasar kaidah fiqhiyyah yang menyatakan, pada dasarnya segala sesuatu hukumnya
mubah sampai ada dalil yang melarangnya.
Para fuqaha’ ( ulama ahli fiqih) mayoritas sependapat menunda haid untuk
berhaji dengan obat-obatan. Hal ini sebagaimana dasar kaidah fiqhiyyah yang
menyatakan, pada dasarnya segala sesuatu hukumnya mubah sampai ada dalil yang
melarangnya.
Selain dengan Pil Anti haid, langkah yang dapat dilakukan jemaah haji perempuan
adalah melakukan langkah antisipasi sebagai berikut:
a)
Rata-rata waktu haid 7 hari
b)
Jamaah haji harus ingat betul kapan mulai dan berakhir haidnya.
c)
Kalau haid mulai tanggal 9 atau tanggal 10, maka akan berakhir tanggal 15
atau tanggal 16. Pada tanggal 16 atau tanggal 17 sudah bisa Thawaf Ifadhah.
d) Kalau haid berakhir
tanggal 9 atau mulai haid tanggal 11, maka pada tanggal 10, sudah bisa
melakukan Thawaf ifadhah
e)
Demikian juga kalau haid berakhir tanggal 10 atau mulai haid tanggal 12,
maka pada tanggal 11 sudah bisa melaksanakan thawaf ifadhah.
f)
kecermatan mengantisipasi waktu mulai dan berakhirnya haid, harus sangat
diperhatikan terutama bagi jamaah haji gelombang 1, yang akan segera pulang ke
tanah air setelah selesai manasik haji di Mina dan tinggal di Makkah hanya
beberapa hari saja untuk melaksanakan Thawaf ifadhah, sa’i dan Thawaf Wada.
Sedang bagi jamaah haji gelombang11, masih banyak waktu tinggal di Makkah
sebelum berangkat ke Madinah.[15]
C. Mina jadidul
jadid
Dalam rangka menyambut dan melayani
jamaah haji, pemerintah Arab Saudi telah berupaya memperhatikan keselamatan,
kenyamaanan, dan estetika jamaah haji. Masalah jumlah jamaah yang tidak
sebanding dengan tempat-tempat tertentu di Makkah yang digunakan untuk ibadah
telah mengakibatkan penuh sesak dan desak-desakan para jamaah.
Kondisi ini sudah tentu berpotensi
menimbulkan kecelakaan. Dan bahkan menimbulkan korban jiwa yang jumlahnya tidak
sedikit, seperti yang terjadi di terowongan Mina (Muaisiin) sekitar dua
puluh tahun lalu.
Untuk menghindari jatuhnya korban
lebih lanjut, dan untuk meningkatkan kenyamanan para jamaah haji maka
pemerintah Arab Saudi yang menguasai tanah hijaz (Mekkah, Madinah, dan Ta’if)
mengambil sejumlah langkah seperti perluasan Masjidil Haram, pelebaran jamarat
bahkan membuatnya bertingkat empat, perluasan tempat Sa’i dan membuatnya
bersusun tiga tingkat, dan pembangunan kemah jamaah haji di luar Mina untuk
ibadah mabit di Mina.
Dengan adanya perubahan-perubahan
tersebut tidak sedikit para jamaah haji bingung dan ragu untuk melaksanakan
ibadah haji di tempat-tempat tersebut. Timbulah pertanyaan-pertanyaan hukum
apakah ibadah di tempat-tempat perubahan itu masih dapat dibenarkan oleh syara’
dan tidak mengakibatkan tidak sahnya haji seseorang?[16]
1. Hukum Mabit di Luar Mina
Yang terjadi
sekarang sesungguhnya bukanlah perluasan Mina (tawsi’atul mina),
sehingga seolah-olah menghasilkan sebutan mina jadid (Mina yang baru),
tetapi adalah penempatan perkemahan di luar kawasan Mina yang digunakan sebagai
tempat mabit, dalam rangkaian melaksanakan wajib haji, yaitu melempar jumrah di
Mina (jumrah ’ula, wustha’ dan aqabah).
Perkemahan
yang ditempatkan di luar Mina itu, beberapa tahun terakhir ini, digunakan untuk
mabit para jamaah haji dari Indonesia dan dari Turki. Dengan kata lain, ratusan
tenda tersebut berdiri di kawasan luar Mina dan masuk kawasan Muzdalifah.[17]
Apabila mina
jadid itu telah masuk wilayah di luar mina maka terdapat beberapa pendapat:
a. Sebagian ulama berpendapat dan membolehkan mabit di Mina Jadid, serta sah
mabit di sana, dengan syarat perkemahan tersebut bersambung (ittishal)
dengan perkemahan yang ada di Mina Qadim. Pendapat ini di-qias-kan dengan sahnya salat jum’at di masjid. Jika masjid sudah penuh
maka jamaah bisa dan sah shalat di luar masjid asalkan shafnya bersambung. Begitu pula mabit di luar Mina (Wadi
al-Muhassir) adalah sah menurut syara’, karena kemah-kemah tersebut
dianggap masih bersambung (ittishal) dengan kemah-kemah yang ada di Mina.
Kebolehan ini sejalan
dengan kaidah-kaidah syar`i sebagai berikut:
1) Al-Dharuratu Yuzalu (Sesuatu yang
menimbulkan bahaya harus dihilangkan)
2)
Al-Masyaqqah tajlibu al-taisir (kesulitan
mendatangkan kemudahan)
3)
Al-Amru idza dhaqa ittasa’a (jika suatu keadaan menyempit dan menyulitkan maka
perlu diperluas dan dipermudah)
4)
Hukm al-hakim ilzamun wa yarfa’u al-khilaf (kebijakan penguasa mengikat dan
menghilangkan perbedaan pendapat)
b. Para ahli hukum (fuqaha) dari kalangan sahabat berpendapat bahwa kewajiban mabit
di Mina pada malam-malam tasyriq hanya bagi orang yang mampu
melakukannya, dan mendapatkan tempat yang layak. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama (jumhur). Beberapa dalil menunjukkan gugurnya kewajiban bermalam di Mina
bagi orang yang tidak mendapatkan tempat yang pantas, dan ia boleh bermalam di
mana saja, baik di Makkah, Muzdalifah,’Aziziyah, atau selainnya. Selain itu, ulama Saudi Arabia
telah mengeluarkan fatwa bahwa mabit di perkemahan perluasan Mina hukumnya sah,
sebagaimana pendapat Syekh Muhammad bin Sholeh bin Utsaimin dan Syekh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz.[18]
D. Sa’i dan
Thawaf lantai atas
Mas’a
(tempat sa’i) berada pada jarak 130 m sebelah selatan dari Masjidil Haram.
Dimana di atas bukit tersebut telah di bangun atap bulat yang menyerupai kubah.
Bukit inilah yang dinamakan bukit Shafa, tempat sebagai awal permulaan
melakukan sa’i. Sedangkan bukit Marwa adalah bukit yang terletak kira-kira 300
m arah timur laut dari rukun Syami, inilah tempat mengakhiri sa’i. Pemerintah
Arab Saudi dalam hal ini adalah Khadimul Haramain Raja Abdullah bin Abdul Aziz
telah melakukan perluasan pada tempat sa’i. Dalam melakukan perluasan tersebut,
beliau telah mempertimbangkan keputusannya dengan mengundang dan meminta
pendapat dari Hay’at Kibar al-Ulama (Majelis Ulama Terkemuka). Dalam hal ini
Khadimul Haramain Raja Abdullah bin Abdul Aziz meminta kepada Hay’at Kibar
al-Ulama untuk menyelenggarakan sidang khusus terkait rencana perluasan mas’a.
Dalam sidang
tersebut mayoritas Hay’at kibar al-Ulama menolak rencana perluasan mas’a. Hal
ini tersebut dikarenakan Mas’a hasil perluasan Raja Saud bin Abdul Aziz telah
mencakup seluruh wilayah Mas’a. Mayoritas anggota Hay’at Kibar al-Ulama
menyarankan untuk menambah bangunan diatasnya, bukan dengan memperluas ke
samping. Fatwa tersebut merujuk kepada fatwa sebelumnya, yaitu: fatwa no 21
tanggal 21/11/1393 H (1973 M) yang membolehkan bersa’i di atap mas;a (lantai
atas) jika diperlukan, dan fatwa para ulama di bawah pimpinan Syeikh Muhammad
Ibrahim tentang batas-batasa Shafa dan Marwah.
Keselamatan, kenyamanan dan estetika kiranya menjadi
perhatian pemerintah Arab Saudi dalam menyambut dan melayani para jamaah haji
sebagai tamu-tamu Allah SWT. Bertolak dari semua itu maka pemerintah setempat
mengadakan perombakan beberapa tempat dilaksanakannya ibadah haji antara lain
perluasan Masjidil Haram di Makkah, pelebaran jalan raya, pembuatan jalan baru,
pembuatan terowongan, pelebaran Jamarat bahkan membuatnya bertingkat-tingkat
bersusun ke atas sampai empat atau lima tingkat, perluasan tempat sa’i dan
membuatnya bersusun tiga atau empat tingkat, dan lain-lain.
Perluasan mas`a atau tempat pelaksanaan sa`i yang
sekarang disebut sebagai mas`a jadid (mas`a baru) sudah dipergunakan
pada musim haji 1429 H ini. Berarti jamaah haji melakukan sa’i dari Shofa ke
Marwah melalui tempat hasil tausi’ah (perluasan) dan dari Marwah ke Shofa
melalui mas`a yang lama. Pemerintah Saudi menambah lebar mas`a dari sekitar 20
m menjadi 40 m.
Dengan demikian, perluasan ini menambah luas
keseluruhan lokasi sa`i menjadi sekitar 72.000 m2, dari yang
sebelumnya hanya 29.400 m2. Proyek perluasan mas`a ini telah dimulai
tahun 2007, setelah musim haji usai. Perluasan ini adalah yang terbesar
sepanjang sejarah.
Apakah mas`a setelah mengalami perluasan itu dipandang
sebagai mas`a untuk melakukan sa`i antara Shofa dan Marwah? Apakah sah sa`i
yang dilakukan di mas`a jadid itu? Para ulama memberikan ketentuan bahwa
panjang mas`a adalah jarak antara bukit Shafa dan Marwa, sedangkan lebarnya
berdasarkan fakta dan praktik yang dilakukan dari masa ke masa sejak zaman
Rasulullah hingga kini.
Jika perluasan mas`a itu menjadi satu mas`a saja,
dalam pengertian mas`a yang lama digunakan satu arah dan perluasan mas`a yang
baru digunakan searah juga maka hukumnya sah karena para jamaah haji tetap
melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah.
Rapat pleno Syuriyah PBNU memilih pendapat bahwa sa’i
pada mas`a setelah mengalami perluasan hukumnya sah karena memang tidak adanya
nash yang sharih mengenai batas lebar mas`a pada zaman Nabi sehingga dinding
mas`a yang ada sebenarnya bukanlah batas mas`a. Tidak ditemukan keterangan yang
pasti mengenai batas lebar mas`a, yang jelas ketentuannya hanyalah panjang mas`a
antara Shafa dan Marwah. Sementara berdirinya bangunan atau tembok di sekitar
mas`a yang berubah-ubah; kadang menyempit dan kadang meluas, membuktikan bahwa
agama tidak membatasi lebar mas`a.
Berikut ini adalah penjelasan dalam kitab Nihayatul
Muhtaj ila Syarhil Minhaj:
“Kami tidak menemukan perkataan ulama ukuran lebarnya
mas`a. Diamnya mereka dalam hal ini karena tidak diperlukan. Karena yang wajib
(bagi seorang yang bersa’i) adalah menjelajahi area antara bukit Shafa dan
Marwah untuk setiap kali putaran. Jika melenceng sedikit dari jalur sa’inya,
tidak mengapa sebagaimana dijelaskan Imam Syafi’i.” (Nihayatul Muhtaj ila
Syarhil Minhaj 10/359).Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj juga
dijelaskan: "Perkiraan mas`a selebar 35 hasta atau sekitar itu adalah
perkiraan saja, karena tidak ada nash dari hadits nabi yang kita ketahui. Oleh
karena itu melenceng sedikit (pada waktu sa’i dari mas`a yang ada tidak menjadi
masalah, berbeda dengan melenceng yang melebar terlalu banyak, bisa keluar dari
hitungan lebar mas`a, walaupun hal itu masih diperkirakan juga.[19]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan di
atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud haji badal
secara bahasa adalah mengganti, menukar atau merubah, sedangkan secara istilah
adalah haji yang dilakukan oleh seseorang untuk menggantikan kewajiban haji
bagi orang lain dikarenakan adanya udzur, dan dilakukan dengan syarat-syarat
tertentu. Para ulama sepakat
tentang kebolehan membadal haji, namun menurut madzhab Maliki tidak mewajibkan
selama orang tersebut tidak berwasiat. Menurut Al-Lajnah Ad-Daimah
Lil Ifta Jika seseorang mengambil upah untuk menggantikan orang lain
karena ingin mendapatkan dunia, maka dia dalam keadaan bahaya besar dan
dikhawatirkan tidak diterima hajinya.
Syarat- Syarat wajib
haji bagi perempuan sesungguhnya sama dengan syarat-syarat wajib haji bagi
laki-laki, namun terdapat penambahan yaitu harus disertai dengan suami atau
mahramnya. Ada ulama yang mengatakan mahram itu syarat, dan ada ulama yang
mengatakan bahwa mahram itu bukan syarat. Izin suami menjadi hal penting bagi
seorang istri, namun tidak semestinya suami melarang istri untuk menjalankan
kewajiban kepada tuhannya. Dalam menjalankan ibadah haji, perempuan boleh
memakai pil penunda haid ibadah hajinya
tidak terganggu.
Sesungguhnya mina jadid adalah
penempatan perkemahan di luar kawasan
Mina yang digunakan sebagai tempat mabit, dalam rangkaian
melaksanakan wajib haji, yaitu melempar jumrah. Tujuan perluasan mina
yaitu untuk menghindari kecelakaan/ jatuhnya korban. Menurut Fatwa Ulama Saudi Arabia Mabit
di perkemahan perluasan Mina hukumnya sah, begitu pula MUI. Hal tersebut
didasarkan pada kaidah fiqhyah serta adanya rukhsah.
Melakukan sa’i dan thawaf di mas’a jadid menurut Bahtsul Masail dan
pemerintah Saudi Arabia adalah sah hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Almalanji.wordpress.com/haji-menggantikan-orang-lain-badal-bag-1,
diakses 20 September 2013 pukul 15:23.
Kemenag
RI, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah. 2011. Fikih Haji. Jakarta:
T.P.
Manan
, Abdul. 2007. Fiqh Lintas Madzhab. Kediri: t.p.
Munawwir,
Ahmad Warson. T.t. al-Munawwir Kamus arab Indonesia. T. K: T.P .
wikipedia.org/wiki,
diakses 19 September 2013pukul 10:22.
www.Eramuslim.com,Bolehkah Wanita Bepergian Tanpa
Muhrim dan Apa Batasannya Menurut Islam, diakses 26 September 2013 pukul 10:57.
www.jurnalhaji.com/rukun-haji/mengenal-lebih-jauh-tentang-badal-haji,
diakses
19 September 2013pukul 10:30.
www.nu.or.id,
Bahtsul Masail Perluasan Mas’a dan Mina, diakses
25 September 2013 pukul 22:19.
Zuhdi,
Masjfuk. 1992. Studi Islam . Jakarta: Rajawali Press.
[1] Abdul Manan, Fiqh Lintas Madzhab (Kediri: T.P,
2007), hlm. 107-108.
[2] Ahmad Warson
Munawwir, al-Munawwir Kamus arab Indonesia, hlm. 65-66.
[3] Kemenag RI,
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Fikih Haji (Jakarta: t.p, 2011), hlm. 303.
[4] wikipedia.org/wiki,
diakses 19 September 2013pukul 10:22.
[5] www.jurnalhaji.com/rukun-haji/mengenal-lebih-jauh-tentang-badal-haji, diakses 19
September 2013pukul 10:30.
[6] Kemenag RI, Fikih,
hlm. 303.
[7] Kemenag RI, Fikih,
hlm. 304.
[8] Ibid,hlm. 306.
[9] Ibid,
hlm. 305.
[10] almalanji.wordpress.com/haji-menggantikan-orang-lain-badal-bag-1,
diakses 20 September 2013 pukul 15:23.
[11] Masjfuk Zuhdi,
Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hlm.77-78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar